Robohnya Surau Kami karya A.A.Navis
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota
kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka
kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada
simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu.
Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada
kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.
Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui
seorang tua yang biasanya duduk di sana dengansegala tingkah ketuaannya dan
ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau
itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.
Sebagai penajag surau, Kakek tidak mendapat apa-apa.
Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia
mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali
setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak
begitu dikenal. Ia lebih di kenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu
mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang
ia tak pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong
mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang
laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi
yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia
sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak
menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai
mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan
dinding atau lantai di malam hari.
Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai
gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu
kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya,
secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa
bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak di jaga lagi.
Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat
disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya.
Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya
Kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini
Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang
tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang
yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah
asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki
Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak
disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk disampingnya dan aku
jamah pisau itu. Dan aku tanya Kakek,
“Pisau siapa, Kek?”
“Ajo Sidi.”
“Ajo Sidi?”
Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si
pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku
senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya
yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu
sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah
karena semua pelakupelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek
dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar
kampungku yang cocok dengan watak pelakupelaku ceritanya. Ketika sekali ia
menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang
ketagihan menjadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk
selanjutnya pimpinan tersebut kami sebut pimpinan katak.
Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatang Ajo
Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan
itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi. “Apa
ceritanya, Kek?”
“Siapa?”
“Ajo Sidi.”
“Kurang ajar dia,” Kakek menjawab.
“Kenapa?”
“Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah
tajam-tajam ini, menggoroh tenggorokannya.”
“Kakek marah?”
“Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah
tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku
kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku
berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku
menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan
tawakal.”
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan
Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi Kakek, “Bagaimana katanya, Kek?”
Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita
barangkali. Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya
padaku, “Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah disini. Sedari
mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah
perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?”
perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?”
Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu,
kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek
dengan pertanyaannya sendiri.
“Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya
isteri, punya anak, punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan
hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku,
lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan
orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan
manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan,
sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya?
Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan
penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku
pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku
sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya.
Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku terkejut.Masya Allah kataku bila aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.”
Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku terkejut.Masya Allah kataku bila aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.”
Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan
tanyaku, “Ia katakan Kakek begitu, Kek?”
“Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah
kira-kiranya.”
Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas
kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati Ajo Sidi yang begitu memukuli hati
Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek
bercerita lagi.
“Pada suatu waktu, ‘kata Ajo Sidi memulai, ‘di
akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat
bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala
manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah dimana-mana ada perang.
Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seirang yang di dunia di namai
Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin
akan di masukkan ke dalam surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil
membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya
orang-orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan
ketika ia melihat orang yang masuk ke surga, ia melambaikan tangannya, seolah
hendak mengatakan ‘selamat ketemu nanti’. Bagai tak habishabisnya orang yang
berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan
Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.
Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil
tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu
Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
‘Engkau?’
‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji
Saleh namaku.’
‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama
hanya buat engkau di dunia.’
‘Ya, Tuhanku.’
‘apa kerjamu di dunia?’
‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’
‘Lain?’
‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku
menyebut-nyebut nama-Mu.’
‘Lain.’
‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada
beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika
aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan
kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’
‘Lain?’
Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah
menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insaf, pertanyaan Tuhan bukan
asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum di katakannya. Tapi menurut
pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus
dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba
menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi
setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.
‘Lain lagi?’ tanya Tuhan.
‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang
Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang
sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan
pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya
kepadanya.
Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’
‘O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca
Kitab-Mu.’
‘Lain?’
‘Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau
ada yang lupa aku katakan, aku pun bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.’
‘Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia
selain yang kauceritakan tadi?’
‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’
‘Masuk kamu.’
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke
neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia di bawa ke neraka. Ia tak mengerti
apa yang di kehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.
Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu
banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia
tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya
di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah
seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula.
Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan
semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.
‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh
kemudian, ‘Bukankah kita di suruh-Nya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu
semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke
neraka.’
‘Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang
senegeri dengan kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat,’ kata salah
seorang diantaranya.
‘Ini sungguh tidak adil.’
‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi
ucapan Haji Saleh.
‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas
kesalahan kita.’
‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap
memasukkan kita ke neraka ini.’
‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan
Haji Saleh.
‘Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya,
bagaimana?’ suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.
‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.
‘Apa kita revolusikan juga?’ tanya suara yang lain,
yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner.
‘Itu tergantung kepada keadaan,’ kata Haji Saleh.
‘Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.’
‘Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi
saja, banyak yang kita perolah,’ sebuah suara menyela.
‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak
beramai-ramai.
Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap
Tuhan.
Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’
Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara
tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama rendah, ia
memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah
umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembahmu. Kamilah
orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-
Mu,mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar
kepalakami.Tak sesat sedikitpun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang
Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke
neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama
orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan
kepada kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’
‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.
‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia,
Tuhanku.’
‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’
‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’
‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam,
minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya,
bukan?’
bukan?’
‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri
kami.’ Mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang
di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap
menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga
tanaman tumbuh tanpa di tanam?’
‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’
‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’
‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’
‘Negeri yang lama diperbudak negeri lain?’
‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’
‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan
diangkut ke negerinya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa
lagi. Sungguh laknat mereka itu.’
‘Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan
kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya,
bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu
kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.’
‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’
‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’
‘Karena keralaanmu itu, anak cucumu tetap juga
melarat, bukan?’
‘Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua
pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.’
‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak
di masukkan ke hatinya, bukan?’
‘Ada, Tuhanku.’
‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat,
hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain
mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara
kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya
raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak
mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau
semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di
sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. hai, Malaikat, halaulah
mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!”
Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa
lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji
Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan di kerjakannya di dunia itu salah
atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada
malaikat yang menggiring mereka itu.
malaikat yang menggiring mereka itu.
‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah
Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh. ‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau
terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau
taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan
kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya.
Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia
berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’
Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari
Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek. Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah
pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.
“Siapa yang meninggal?” tanyaku kagut.
“Kakek.”
“Kakek?”
“Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya
dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau
cukur.”
“Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya cepat-cepat
meninggalkan istriku yang tercengang-cengang.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa
dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.
“Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.
“Tidak ia tahu Kakek meninggal?”
“Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan
kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh
mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun
bertanggung jawab, “dan sekarang kemana dia?”
“Kerja.”
“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.
“Ya, dia pergi kerja.”
A.Deskripsi
Data
a.Biografi
Tokoh
1.A.A.Navis
Haji Ali
Akbar Navis (lahir di Kampung Jawa, Padangpanjang, Sumatera Barat, 17 November 1924 – meninggal 22 Maret 2003pada umur 78 tahun)
adalah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia yang lebih dikenal
dengan nama A.A. Navis. Ia menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya.
Karyanya yang terkenal adalah cerita pendek Robohnya
Surau Kami. Navis 'Sang Pencemooh' adalah sosok yang ceplas-ceplos, apa
adanya. Kritik-kritik sosialnya mengalir apa
adanya untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi, agar hidup lebih bermakna.
Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih itu putih. Ia amat
gelisah melihat negeri ini digerogoti
para koruptor. Pada
suatu kesempatan ia mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya dalam
kehidupan tapi jika dikasih memilih ia akan pilih jadi penguasa untuk
menangkapi para koruptor. Walaupun ia tahu resikonya, mungkin dalam tiga bulan,
ia justru akan duluan ditembak mati oleh para koruptor itu.
b.Sinopsis cerpen:Robohnya Surau Kami karya
A.A Navis
Cerpen
karya A.A. Novis yang mengisahkan seorang kakek Garin, yang meninggal secara
mengenaskan yaitu membunuh diri akibat dari mendengar cerita bualan seseorang
yang sudah dikenalnya, ternyata cukup memikat siapapun yang membacanya. Karena
daya pikat itu, peneliti mencoba mengkajinya dan agar kajian ini, khususnya bab
IV ini mudah dipahami agaknya perlu juga memaparkan sinopsis cerpen Robohnya
Surau Kami tesebut. Sinopsisnya itu seperti yang dipaparkan di bawah
ini.
Di
suatu tempat ada sebuah surau tua yang nyaris ambruk. Hanya karena seseorang
yang datang ke sana dengan keikhlasan hatinya dan izin dari masyarakat
setempat, surau itu hingga kini masih tegak berdiri. Orang itulah yang merawat
dan menjaganya. Kelak orang ini disebut sebagai Garin.
Meskipun
orang ini dapat hidup karena sedekah orang lain, tetapi ada yang paling pokok
yang membuatnya bisa bertahan, yaitu dia masih mau bekerja sebagai pengasah
pisau. Dari pekerjaannya inilah dia dapat mengais rejeki, apakah itu berupa
uang, makanan, kue-kue atau rokok.
Kehidupan
orang ini agaknya monoton. Dia hanya mengasah pisau, menerima imbalan,
membersihkan dan merawat surau, beribadah di surau dan bekerja hanya untuk
keperluannya sendiri. Dia tidak ngotot bekerja karena dia
hidup sendiri. Hasil kerjanya tidak untuk orang lain, apalagi untuk anak dan
istrinya yang tidak pernah terpikirkan.
Suatu
ketika datanglah Ajo Sidi untuk berbincang-bincang dengan penjaga surau itu.
Lalu, keduanya terlibat perbincangan yang mengasyikan. Akan tetapi, sepulangnya
Ajo Sidi, penjaga surau itu murung, sedih, dan kesal. Karena dia merasakan, apa
yang diceritakan Ajo Sidi itu sebuah ejekan dan sindiran untuk dirinya.
Dia
memang tak pernah mengingat anak dan istrinya tetapi dia pun tak memikirkan
hidupnya sendiri sebab dia memang tak ingin kaya atau bikin rumah. Segala
kehidupannya lahir batin diserahkannya kepada Tuhannya. Dia tak berusaha
mengusahakan orang lain atau membunuh seekor lalat pun. Dia senantiasa
bersujud, bersyukur, memuji, dan berdoa kepada Tuhannya. Apakah semua ini yang
dikerjakannya semuanya salah dan dibenci Tuhan ? Atau dia ini sama seperti
Haji Saleh yang di mata manusia tampak taat tetapi dimata Tuhan dia itu lalai.
Akhirnya, kelak ia dimasukkan ke dalam neraka. Penjaga surau itu begitu
memikirkan hal ini dengan segala perasaannya. Akhirnya, dia tak kuat memikirkan
hal itu. Kemudian dia memilih jalan pintas untuk menjemput kematiannya dengan
cara menggorok lehernya dengan pisau cukur.
Kematiannya
sungguh mengejutkan masyarakat di sana. Semua orang berusaha mengurus mayatnya
dan menguburnya. Kecuali satu orang saja yang tidak begitu peduli atas
kematiannya. Dialah Ajo Sidi, yang pada saat semua orang mengantar jenazah
penjaga surau dia tetap pergi bekerja.
B.Analisis
Data
1.Cerpen “Robohnya Surau Kami” karya
A.A.Navis
a.Struktur
cerpen
1.Alur
1.
Kalau
beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku …. akan Tuan temui
seorang tua yang biasanya duduk di surau dengan segala tingkah ketuaannya dan
ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garim, penjaga surau
itu. Orang-orang memanggilnya kakek.
2.
Sebagai
penjaga surau, kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang
dipungutnya sekali sejum’at. Sekali enam bulan Ia mendapat seperempat dari
hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang
mengantarkan fitrah Id, tapi sebagai Garim ia tak begitu dikenal. Ia lebih
dikenal sebagai pengasah pisau. Karena Ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu.
Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tidak pernah meminta imbalan
apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau
gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong,
memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering
diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.
3.
Tapi kakek
ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu
tanpa penjaganya..
4.
Jika Tuan
datang sekarang hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian
yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya.
5.
Dan biang
keladi dari kecerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal
kebenarannya.
6.
Kakek
begitu muram. Di sudut benar dia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan
dan dagunya. Pandangannya sayu kedepan, seolah-olah ada sesuatu yang mengamuk
pikirannya. Sebuah blek susu yang berisi minyak kelapa sebuah asahan halus,
kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek.
7.
Penyebab munculnya konplikasi ini bukan karena
pisau itu melainkan pemilih pisau itu. Hal ini terbukti ketika si Kakek
menyebutkan nama pemilik pisau itu, dia begitu geramnya bahkan mengancam.
8.
Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah
tajam-tajam ini, menggorok tenggorokannya.
9.
Kemarahannya ini demikian hebat dan
hebat. Dia sendiri tak mampu menahannya untuk menyembunyikan apa yang
diceritakan Ajo Sidi. Namun, segala apa yang diungkapkannya di depan tokoh Aku
ini tidak membuatnya merasa ringan. Bahkan mungkin semakin berat dan menekan
dada dan batinnya. Akibatnya, klimaks kekecewaan si Kakek berakhir dengan cara
yang tragis. Dia nekat membunuh dirinya sendiri dengan cara menggorok lehernya.
10.
ketika orang-orang terkejut
mendapatkan si Kakek garin itu meninggal dengan cara mengenaskan, justru
Ajo Sidi menganggap hal itu biasa saja bahkan dia berusaha untuk
membelikan kain kafan meskipun hal ini dia pesankan melalui istrinya.
Jika
struktur alurnya seperti di atas maka alur cerpen ini dikelompokkan ke dalam
alur regresif atau alur flash back (sorot balik). Dikatakan demikian karena
benar-benar bertumpu pada kisah sebelumnya, yang oleh tokoh Aku kisah itu
diceritakan atau ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah berlalu yaitu
sebab-sebab kematian kakek Garin. Sedangkan strukturnya berupa bagian awal,
tengah, dan akhir. Adapun alur mundurnya mulai muncul di akhir bagian awal dan
berakhir di awal bagian akhir.Dapat dilihat pada kutipan cerpen sebagai
berikut.
“Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang
ke kota kelahiranku dengan menumpang bis.… Dan di ujung jalan itu nanti akan
Tuan temui sebuah surau tua…. Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui
seorang Tua…. Orang-orang memanggilnya kakek… Tapi kakek ini sudah tidak ada
lagi sekarang. Ia sudah meninggal…. Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah
sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya. Dan
besoknya, ketika Aku mau turun rumah pagi-pagi istriku berkata apa aku tak
pergi menjenguk. “Siapa yang meninggal?” Tanyaku kaget”.
2.Penokohan
Yang dimaksud dengan penokohan yakni bagaimana pengarang
menampilkan perilaku tokoh-tokohnya berikut wataknya. A.A. Navis menampilkan
tokoh-tokohnya sebagai berikut.
a. Tokoh Aku (A.A.Navis)
Tokoh ini begitu berperan dalam
cerpen ini. Dari mulutnya kita bisa mendengar kisah si Kakek yang membunuh
dirinya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau. Pengarang menggambarkan
tokoh ini sebagai orang yang ingin tahu perkara orang lain. kutipan seperti
berikut.
Tiba-tiba aku ingat lagi
pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi tidak
membuat bualan tentang kakek ? Dan bualan itukah yang mendurjakan kakek ? Aku
ingin tahu. Lalu aku tanya pada kakek lagi: “Apa ceritanya, kek ?”
Ingin tahuku dengan cerita Ajo
Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi kakek : “Bagaimana
katanya, kek ?”.
“Astaga. Ajo Sidi punya
gara-gara,” kataku seraya ceepat-ceepat meninggalkan istriku yang
tercengang-cengang. Aku cari AjoSidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama
istrinya saja. Lalu aku tanya dia.
b.Ajo Sidi
Ajo
sidi merupakan orang yang cinta kerja dan sebagai situkang bual.dapat dilihat
dari kutipan berikut.
….Maka aku
ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin
ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat
orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang
terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya.
c.Kakek
Tokoh kakek ini digambarkan sebagai orang yang mudah dipengaruhi dan
gampang mempercayai omongan orang,
pendek akal dan pikirannya, serta terlalu mementingkan diri sendiri dan lemah
imannya. Sedangkan gambaran untuk tokoh si
Kakek yang terlalu mementingkan diri sendiri digambarkan melalui ucapanya
sendiri, seperti data berikut:
“Sedari
mudaku aku di sini, bukan ? tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga
seperti orang-orang lain, tahu? Tak terpikirkan hidupku sendiri”.
d.Haji saleh
Haji saleh
dimunculkan karena kemahirannya untuk mengejek atau menyindir orang lain.Haji
saleh merupakan tokoh orang yang mementingkan diri sendiri.
3.Latar
Dalam suatu cerita latar dibentuk melalui segala keterangan,
petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya
suatu peristiwa. Latar ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu;
dan latar sosial.
a.Latar tempat
Latar tempat yang ada dalam cerpen
ini jelas disebutkan , seperti kota, dekat pasar, di surau, dan
sebagainya.Kutipannya dapat dilihat sebagai berikut.
“Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota
kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar.
Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer
dari pasar akan sampailah Tan di jalan kampungku. Pada simpang kecil kekanan,
simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu
nanti akan tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolan ikan, yang airnya
mengalir melalui empat buah pancuran mandi”.
b.Latar waktu
Latar jenis ini, yang terdapat dalam cerpen ini ada yang
bersamaan dengan latar tempat, seperti yang sudah dipaparkan di atas pada latar
tempat.
c.Latar
sosial
Di dalam latar
ini umumnya menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan
sikapnya, kebiasaannya, cara hidup, dan bahasa. Di dalam cerpen ini latar
sosial digambarkan sebagai berikut :
“Dan
di pelataran surau kiri itu akan tuan temui seorang tua yang biasanya duduk
disana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah
bertahun-tahun Ia sebagai Garim, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya
kakek”.
4.Tema
Pengarang yang sedang menulis cerita pasti akan menuangkan
gagasannya. Tanpa gagasan pasti dia tidak bisa menulis cerita. Gagasan yang
mendasari cerita yang dibuatnya itulah yang disebut tema dan gagasan seperti
ini selalu berupa pokok bahasan.
Tema
atau pokok persoalan cerpen Robohnya Surau Kami dapat dilihat pada kutipan
cerpen berikut.
“Sedari mudaku aku disini, bukan? Tak ku ingat
punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak
kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala
kehidupanku, lahir batin, ku serahkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Tak
pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini
aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka…. Tak ku pikirkan hari esokku,
karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih penyayang kepada umatNya yang
tawakkal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul bedug membangunkan
manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepadaNya. Aku bersembahyang setiap
waktu. Aku puji-puji dia. Aku baca KitabNya. “Alahamdulillah” kataku bila aku
menerima karuniaNya. “Astaghfirullah” kataku bila aku terkejut. ”
Masa Allah bila aku kagum.” Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku
dikatakan manusia terkutuk”.
“Tidak, kesalahan engkau, karena engkau terlalu
mementingkan diri mu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat
bersembahyang. Tapi engkau melupakan kaum mu sendiri, melupakan kehidupan anak
istimu sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah kesalahan mu
yang terbesar, terlalu egoistis, padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara
semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun.”
Dengan
demikian, jika kita buat kesimpulan atas fakta-fakta di atas maka tema cerpen
ini adalah seorang kepala keluarga lalai itu sehingga masalah kelalaiannya itu
akhirnya mampu membunuh dirinya.